Kisah dari seorang senior.
Matur suwun mas Deky "DQ" Werdoko (Alumni Politeknik Undip '92).
TUHAN SAYANG DENGAN KITA
Hari senin kemarin, saya mendapat pengalaman di jalan raya waktu berangkat kerja. Sebuah pengalaman yang mengingatkan saya atas pengalaman tahun–tahun sebelumnya.
Seperti biasa hari senin, pengendara kendaraan bermotor lebih tampak sibuk dari hari yang lain. Demikian juga di kota Batam, kota dimana Tuhan memberikan rejeki kepada kami sekeluarga saat ini. Melewati jalan utama di depan setasiun bahan bakar Sukajadi beberapa polisi memberi aba-aba kendaraan supaya lebih memperlambat jalan, dan ini ternyata sangat berguna kalau kita mengikuti aba-aba tersebut, tetapi kebanyakan kendaraan akan menaikan kecepatan lagi setelah melewati polisi tersebut walau di depan kantor Poltabes Barelang sendiri. Pagi itu, tepat di depan kantor polisi, setelah mengurangi kecepatan, saya sempat menengok ke kanan, dan sangat terkejut ketika mobil di depan saya berhenti mendadak, reflek saya menginjak rem dan beruntung berhenti hanya kira-kira setengah meter dari mobil di depan saya, lihat di spion, mobil di belakang juga melakukan hal yang sama.
Suara berdebam terdengar di depan, tapi saya hanya bisa terduduk lemas, dalam hitungan detik semuanya bisa terjadi, dengan muka pucat pengemudi depan saya menengok kearah saya dengan pandangan bingung juga. Beberapa polisi langsung sibuk mengatur jalan yang langsung macet, karena memang itu jalan utama.
Begitu mengambil jalur kiri, saya terhenyak, posisi mobil saya hanya selisih dua mobil dari mobil terakhir yang mengalami tabrakan beruntun. Sambil melewati deretan mobil yang tabrakan, ada lima atau enam mobil dengan kerusakan cukup parah, saya berucap lirih, Tuhan masih sayang saya. Tapi saya kemudian malu sendiri dengan ucapan itu, menyadari betapa piciknya saya, kalau saya hanya berucap seperti itu dalam posisi saya merasa diuntungkan.
Tuhan masih sayang sama saya, kata–kata itu terngiang di telinga saya, dan pikiran saya kembali ke pengalaman saya bertahun–tahun lalu, tahun 1999, di selatan pulau Sumatera. Saya kenal dengan seorang bapak yang berumur 40-an, badannya gempal dengan kulit hitam legam. Maklum pekerjaannya adalah kuli panggul.
Sering saya ngobrol sama beliau, berdua di warung minum kecil dekat terminal 7 Ulu Palembang. Beliau orang lampung yang mencoba mencari nafkah di kota itu. Karena keseringan ngobrol, suatu saat beliau mengajak saya berkunjung ke tempat tinggal beliau, di pelantar–pelantar pinggiran sungai musi. Tempat tinggal yang sangat jauh dari layak, dengan dinding yang lapuk dan lantai kayu yang siap ambruk.
“hati–hati mas, lantainya lapuk, makanya tadi saya ingatkan jangan makan banyak-banyak sebelum main ke tempat saya,” si bapak mengingatkan saya sambil tertawa, tawa yang selalu terlihat lepas dan penuh syukur. Saya hanya tersenyum, sambil tetap berhati-hati melangkah.
Terdengar suara langkah kaki, dua orang anak kecil muncul dari balik gorden yang lusuh, langsung mencium tangan bapaknya, saya sempat terhenyak, bukan karena dua anak laki–laki itu tampak khusuk dalam mencium tangan orang tuanya, tapi saya melihat mereka berdua ada kelainan pada kakinya, POLIO.! Mereka kemudian mencium tangan saya juga, saya sempat mengelus kepala anak yang paling kecil, dengan perasaan terharu.
Suara batuk dari balik gorden membuat saya berpaling, dan si bapak dengan masih tersenyum bangun dan minta ijin sama saya. “Mas sebentar saya tinggal, saya mau nyuapin istri saya dulu, sedang sakit,” kata beliau. Saya mengiyakan dan kemudian asyik ngobrol dengan dua anak lelaki beliau.
Selang setengah jam kemudian, beliau keluar lagi dan minta maaf kalau saya terlalu lama menunggu. “Oh tidak apa–apa Pak, memang ibu sakit apa, sudah ke dokter belum,” tanya saya. Si bapak tersenyum mendengar pertanyaan saya. “Istri saya sakit TBC mas, sudah lama, lebih dari sepuluh tahun, tapi sudah dua tahun ini tambah parah, tapi syukur saya masih diberi kekuatan untuk menemaninya,” kata beliau. Dalam hati saya, betapa bapak ini sangat susah, dua anak yang punya kelainan pada kakinya ditambah istri yang terbaring sakit, belia harus banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidup, tapi juga harus melayani keperluan istrinya yang sakit.
“Maaf Pak, saya salut karena bapak bisa menjalani semua kesusahan ini,” kata saya terharu.
Tetapi beliau menjawab dengan tertawa, "maaf Mas, saya tidak merasa susah, saya bahagia, bersyukur sama Tuhan, di kasih istri, di kasih keturunan, dikasih pekerjaan". Saya hanya diam, terharu saya melihat cara bapak itu berbicara, nampak ikhlas.
Lebih diam lagi, ketika beliau melanjutkan kata–katanya,” Kalau mas lihat saya akan susah karena kondisi istri saya ataupun anak saya, kerja saya sebagai kuli panggul, itu tidak membuat saya merasa susah, tetapi saya bahagia, karena saya semakin sadar, bahwa Tuhan sayang sama saya”.
Wajah ikhlas itu semakin ikhlas ketika mengucapkan kata–kata, Tuhan sayang sama saya, seluruh panca indera saya terasa segar, saya seperti melihat surga di lelaki depan saya.
Ketika dengan sungkan beliau menawari saya, apakah saya mau dibikinin teh, karena beliau takut saya tersinggung karena di rumah itu ada orang sakit TBC. Saya menjawab tidak keberatan, dan ketika teh itu datang di depan saya, saya segera meminumnya dengan rasa syukur, betapa bahagianya saya hari itu, meminum teh yang sangat penuh rahmat, dari rejeki yang halal, dibikin oleh lelaki yang penuh rahmat, ini rejeki yang tidak bisa dinilai.
Tuhan sayang sama kita.
Ketika putra kami yang kedua, Rangga, yang baru lahir dua bulan lalu harus masuk rumah sakit, saya lihat istri saya nampak tertekan. Saya maklum akan hal itu, karena sebagai ibu ikatan batin yang kuat membuatnya sangat terpukul. Melihat putra kami yang mungil terbaring di kotak penyinaran, membuat istri saya sering menangis.
Sering sambil menangis dia berkata, "kenapa harus anakku, Tuhan tidak adil, aku sudah merawatnya dari dia di kandungan, aku sayang sama dia". Saya di sampingnya selalu mencoba menyabarkan, bahwa ini yang terbaik buat kita, tidak baik kita menganggap Tuhan tidak adil terhadap kita. Kesedihan istri saya sedikit terobati, begitu di rumah sakit berkenalan dengan banyak ibu-ibu yang juga menunggu anaknya yang sakit, dan lumrahnya manusia, kesedihan akan berkurang ketika kita sadar bahwa bukan kita saja yang mengalami.
Keluar dari rumah sakit, kami bersyukur anak kami bertambah sehat, berkembang dan semakin lucu. Tetangga kami, pasangan suami istri, pensiunan sebuah Bank Pemerintah di Jakarta, menanyakan kabar anak kami. Kami jawab sudah sembuh, dan makin sehat.
“Syukurlah, itu rencana Tuhan, kita percaya sama yang di atas bahwa itu yang terbaik buat kita, tidak usah takut bahwa nantinya akan ada sesuatu dengan anak kita,” kata si ibu. Beliau kemudian bercerita bahwa anak pertamanya premature, masuk rumah sakit beberapa kali, di vonis ada kelainan, tetapi yang beliau lakukan hanyalah lakukan yang terbaik buat anak dan percaya bahwa Tuhan sayang kepada kita.
Pada perkembangannya, beliau cerita bahwa anaknya normal, bahkan paling pintar dari empat putranya, bisa menempuh pendidikan tinggi, jauh dari perkiraan dokter bahwa ada kelainan saat besarnya nanti. Saya melihat wajah istri saya tenang ketika mendengar si ibu bercerita. Dan setelah itu saya berkata, "jalani hidup ini dengan tenang, percaya bahwa ini yang terbaik dari Tuhan".
Tuhan sayang dengan kita.
Betapa piciknya kalau kita hanya merasa itu kalau kita merasa senang atau diuntungkan dalam hidup ini. Seharusnya kita sadar betapa sayangnya Tuhan terhadap kita, sampai–sampai selalu membuka pintu taubat terhadap kesalahan kita. Padahal dengan kekuasanNya, apa yang tidak bisa Tuhan perbuat.
Berbahagialah manusia yang dalam setiap tarikan nafasnya dalam situasi apapun selalu ingat bahwa Tuhan sayang dengan kita.
Jadi sudahkah kita hari ini, ketika bangun dari tidur merasa bahwa Tuhan masih sayang dengan kita, dengan memberi kita kesempatan untuk hidup. Setelah itu kita sarapan sebelum aktifitas hari ini, apakah kita sudah merasa Tuhan sayang dengan kita, dengan memberi kita kesempatan untuk makan pagi. Kita berangkat kerja pagi ini, sudahkah kita merasa Tuhan sayang dengan kita, dengan memberi kita kesempatan untuk bekerja mencari nafkah. Senyum istri kita, lambaian tangan anak kita, tawa teman sekerja, udara yang kita hirup, kesehatan yang kita dapat, dan masih banyak lagi hari ini yang kita dapat dari Tuhan.
Jadi apakah anda setuju, bahwa Tuhan masih sayang dengan kita, dalam kondisi apapun, itulah yang terbaik buat kita, betapa murah hatinya Tuhan memberi kita kesempatan. Betapa sayangnya Tuhan terhadap kita, bahkan perintah Tuhan bukan untuk kebaikanNya, tapi untuk kebaikan manusia itu sendiri. Masihkah kita merasa hidup ini tidak adil?
Terima kasih, sampaikan salam saya untuk keluarga terkasih anda, dimana Tuhan menitipkankan sayangNya untuk anda melaui mereka.
Rgds,
DQ - pejuang pemikir, pemikir pejuang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar